*SUDUT PANDANG

Kembali Kepada Bhinneka Tunggal Ika

Kembali Kepada Bhinneka Tunggal Ika
Wartawan Senior, Afran Arsan, SE.

WAHANARIAU - Bangsa Indonesia Sebagai bangsa yang majemuk, mengisyaratkan kita semua jika perbedaan atas nama agama, suku dan ras menjadi modal kekuatan perekat persatuan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kita mengenal Bhinneka Tunggal Ika sejak masih duduk di bangku pendidikan Sekolah Dasar (SD), pada saat itu kita dididik, diajari tentang makna Bhinneka Tunggal Ika yang kita ketahui mempunyai arti "Walaupun Berbeda Tapi Tetap Satu" satu dalam kesatuan NKRI.

Namun Konflik yang saat ini kerap terjadi atas nama perbedaan memunculkan sejumlah kegelisahan tersendiri akan makna persatuan dalam keberagaman. Bhinneka Tunggal Ika yang selama ini menjadi semboyan kehidupan berbangsa dan bernegara dicari keberadaanya.

Parahnya lagi, demi sebuah kepentingan politik sering kali perbedaan dijadikan isu hangat untuk mendiskreditkan seseorang hingga memunculkan kebencian yang berkepenjangan, entah sampai kapan kondisi ini terus berlangsung?

Perayaan Imlek 2568 pada tahun 2017 dengan Shio Ayam yang saat ini dirayakan oleh warga negara keturunan Tionghoa mengingatkan kita kepada pejuang kemanusiaan dan mantan Presiden RI ke 4 Abdurahman Wahid (Gusdur).

Di era kekuasaannya lah maka Warga Negara Indonesia (WNI) beretnis Tionghoa bisa merayakan Imlek (Tahun Baru China) secara bebas terbuka seperti lazim yang dilakukan umat agama lainnya di Indonesia. Keputusan Gusdur ini tentu saja menjadi sejarah panjang perjalanan bangsa ini setelah kemerdekaan 17 Agustus 1945 silam.

Pada era sebelumnya, warga Tionghoa sering terpinggirkan keberadaannya, mereka ada tapi dianggap sebagai warga negara "serap", dibutuhkan hanya pada saat negara ada kepentingan seperti merayakan peringatan hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Lain daripada itu, WNI keturunan Tionghoa hanya dijadikan sebagai donatur kegiatan bahkan sering terjadi intimidasi ketika mereka memberikan bantuan dalam jumlah yang tidak diharapkan.

Bergantinya era kekuasaan Orde Baru ke Era Reformasi dan melalui keputusan Gusdur kala itu membuat orang Tionghoa diakui keberadaanya, mereka tidak lagi dianggap sebagai warga negara kelas dua, Suku Tionghoa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan Republik Indonesia.

"Sebab warga Tionghou juga manusia bagian dari bangsa ini dan patut kita akui keberadaannya dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika," tegas Gusdur kala itu sesaat sebelum mengeluarkan keputusan jika Imlek masuk dalam daftar libur nasional perayaan keagamaan di Indonesia.

Keputusan Gusdur tidak saja membuat kebanggaan WNI keturunan Tionghoa, keputusan ini juga mengundang kekaguman bagi pemimpin dunia lainnya. Mereka menyebut jika Gusdur adalah seorang pejuang kemanusiaan yang tak pernah lelah menyuarakan hak kaum minoritas.

Namun sayang, di saat Gudur telah tiada nilai nilai perbedaan yang menjadi faktor perekat negara kesatuan ini lambat laun mulai memudar. Kepentingan serta tujuan politik mengatasnamakan perbedaan agama dan suku dijadikan isu untuk menjegal lawan politiknya, tidak jarang isu tersebut menjurus fitnah.

Mengharuskan agama dan suku tertentu menjadi pemimpin di negeri ini sering terlontarkan dari para elit politik di negeri ini. Keberagaman yang selama ini menjadi semboyan hidup berbangsa dan bernegara tidak lagi jadi pedoman kuat untuk saling menghargai.

Inikah cerminan moral pemimpin dan elit di negeri ini? menjadikan perbedaan suatu kebencian, sadarkah mereka jika bangsa ini berdiri kokoh diatas perbedaan yang ada? Garuda tidak lagi sakti, Pancasila hanya sekedar mantera yang dianggap lelucon oleh mereka.

Cerminan moral para elit politik yang mengaku pintar ini membuat saya penulis bersimpuh dimakam Bung Karno dan bertanya dalam hati "Wahai Bung Karno inikah Indonesia kini yang engkau bangun dengan susah payah?,"

Kondisi bangsa ini di ambang kehancuran jika tindakan tegas tidak dilakukan kepada mereka yang membenci perbedaan. Melalui perayaan Imlek 2568 kita jadikan momentum kembali kepada bingkai Bhinneka Tunggal Ika, jadikan perbedaan suatu hal yang indah. GONG XI FA CAI...

#Editorial

Index

Berita Lainnya

Index