Upaya Pencegahan Radikalisme dan Terorisme Melalui Literasi Digital

Upaya Pencegahan Radikalisme dan Terorisme Melalui Literasi Digital

PEKANBARU - Kepala Bidang Informasi Komunikasi Publik (IKP) Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi Riau, Erisman Yahya menjadi pembicara dalam kegiatan Literasi Digital sebagai upaya Pencegahan Radikalisme dan Terorisme di Masyarakat di Hotel Grand Zuri, Rabu (25/7/2018).

Dalam sambutannya Erisman Yahya mengatakan bahwa Provinsi Riau termasuk dalam wilayah di Indonesia yang memiliki potensi besar terhadap terorisme. Ia mencontohkan kasus Imam Samudra yang memiliki KTP Pekanbaru beberapa tahun yang lalu, dan masih banyak tokoh lainnya.

"Sehingga potensi terorisme luar biasa di Provinsi Riau," ungkapnya.

Terkait fenomena media sosial saat ini, hal ini diakuinya merupakan suatu hal yang luar biasa. Diungkapkan oleh Erisman bahwa dari 265 juta penduduk Indonesia, sekitar 132 juta atau 50 persennya telah menggunakan internet dan sekitar 130 juta atau 49 persennya aktif di media sosial. 

"Selain itu, rata-rata penduduk Indonesia memiliki dua kartu yang mana pada saat registrasi kemarin jumlahnya mencapai 2 kali lipat dari penduduk kita," terangnya.

Lebih lanjut ia menerangkan bahwa rata-rata penduduk Indonesia menghabiskan waktu 8-11 jam berselancar di internet, dan 3 jam lebih di media sosial. Youtube, terangnya, menjadi platform paling digemari oleh penduduk Indonesia selama berinternet.

"4 dari 10 orang, aktif di media sosial. Serta 60 persen masyarakat kita tidak memiliki rekening, tapi 85 persen memiliki ponsel," kata Erisman.

Meski masyarakat Indonesia mengakses internet antara 8-11 jam per hari, hal tersebut tidak dibarengi dengan minat membaca. Di mana minat baca masyarakat Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara-negara berkembang.

"Hal tersebut diperparah dengan hanya membaca 27 halaman per tahun," sebut Erisman.

Ia kemudian mengajak seluruh peserta untuk menghindari hoax serta memfilter segala postingan di media sosial, terutama terkait radikalisme dan terorisme. Terlebih lagi sebanyak 85 persen, hoax menyebar di media sosial yang filternya kurang.

Ia juga berpesan agar mengecek kebenaran terhadap informasi yang diterima sebelum dishare ke media sosial,  dan tidak perlu me-share informasi tersebut jika tidak benar. Karena jika menyebarkan hoax akan terkena Undang-Undang Informasi Transaksi Eletronik (ITE).

"Perlu menyaring informasi sebelum disharing," pesan Erisman. (mcr/mcr)

#Diskominfotik Dumai

Index

Berita Lainnya

Index