Pilgub 2018 Menuju Riau Baru

Pilgub 2018 Menuju Riau Baru
Syahril

PEKANBARU - Memasuki tahun 2018masyarakat Riau akan menghadapi dan menyambut pesta demokrasi, Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Riau untuk periode 2018-2023. Pemilukada Riau merupakan pemilukada secara langsung yang ketigapasca berlakunya reformasi dan otonomi daerah, Pemilukada merupakan sarana untuk memilih dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur.

Melalui pemilukada, rakyat secara langsung akan memilih pemimpinnya di daerah sekaligus memberikan legitimasi kepada siapa yang berhak dan mampu untuk memerintah. Melalui Pemilukada perwujudan kedaulatan rakyat dapat ditegakkan. Pemilukada dengan kata lain merupakan seperangkat aturan atau metode bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan yang absah (legitimate).

Namun yang menjadi problem utama dari pemilukada secara langsung adalah seharusnya dengan sistem pemilukada secara langsung, seyogyanya melahirkan pemimpin – pemimpin daerah yang mempunyai kredibilitas untuk menegakkan etika, memikul amanah, setia pada kesepakatan dan janji, bersikap teguh dalam pendirian, jujur dalam memikul tugas dan tanggung jawab pada masyarakat. Karna sistem pemilukada secara langsung menempatkan rakyat secara individu untuk menentukan pemimpin mereka yang akan membawa perubahan dimasa yang akan datang.

Pemilukada merupakan ajang untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan sebagai wujud demokrasi yang prosedural, tanpa menghilangkan substansi pemilukada tersebut. Menurut formula schumpeterian, demokrasi adalah salah satu aransmen institusional untuk sampai kepada keputusan-keputusan politik, dimana individu-individu mendapatkan kekuasaan, ditentukan malalui cara kompetisi untuk mendapatkan suara terbanyak. Karena pemilihan pemimpin-pemimpin politik (Public Leader) lewat pemilihan langsung yang kompetitif, maka formula demokrasi schumpeterian jelas mensyaratkan dua hal penting yaitu, Pemilu dan Partai Politikuntuk menegaskan adanya aransemen institusional sebelum memasuki mekanisme demokratis yang pelaksanaannya fair ; langsung (one man one vote), umum (perluasan hak pilih), bebas, rahasia, dan adil.

Dalam konteks pemilu, baik itu pemilu Presiden dan Legislatif maupun Pemilu Kepala Daerah, paling tidak ada empat komponen yang dapat terlibat secara langsung melakukan sebuah perubahan dalam menuju pemilukada yang berkualitas. Pertama, Penyelenggara Pemilukada (KPUD dan Panwaslu), Kedua. Kandidat/Kontestan (Cagub dan Cawagub), Ketiga, Media Massa dan Keempat. pemilih/masyarakatyang mengedepankan rasional choise.

PENYELENGGARA PEMILU 
Penyelenggara pemilu didaerah dalam konteks pemilukada disebut KPUD dan Panwaslu, Penyelenggara pemilu adalah komponen utama yang terlibat dalam menciptakan pemilu yang berkualitas.Sesuai undang-undang Republik Indonesia No 7 Tahun 2017 sebagai pengganti uu nomor 15 Tahun 2011 Tentang Pemilihan Umum, disebutkan bahwa penyelenggaraan pemilu berpedoman kepada asas mandiri,  jujur; adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi  dan efektivitas.

Dalam hal ini tentunya kualitas pemilu secara umum maupun pemilukada sangat ditentukan oleh penyelenggara pemilu kalau dilihat dari beberapa asas yang terdapat dalam undang-undang tersebut. Hal ini diharapkan bahwa penyelenggara pemilukada agar lebih menjamin derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih tinggi dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas, terlaksananya jadwal tahapan sesuai waktu yang telah ditetapkan sehingga memungkinkan terjadinya pergantian kekuasaan secara reguler dan terlaksananya pemilukada Riau yang LUBER, JURDIL, dan dipatuhinya seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur pemilukada.

Kemudian, penyelenggara pemilukada Riau harus bekerja lebih maksimal karena dari hasil penyelenggaraan pemilukada Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Riau tahun 2008 angka golput atau tidak memilih mencapai 44,5%, pemilukada 2013 angka golput atau tidak memilih sebanyak 41%.

Dari tingginya angka golput atau tidak hadirnya pemilih untuk menyalurkan hak pilihnya pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur 2008 dan 2013 tentunya dalam hal ini, penyelenggara pemilukada Riau (KPUD) harus melihat permasalahan ini sebagai acuan dalam penyelenggaran Pemilukada Riau di tahun 2018 yang diharapkan angka golput turut drastis sehingga pemilukada semakian berkualitas, meskipun permasalahan tersebut tidak hanya terletak ditubuh KPUD itu sendiri. Namun menjadi tanggung jawab utama KPUD Riaudalam menciptakan pemilukadaRiau yang lebih baik tahun 2018, sebagai wujud terciptanya pemimpin Riau yang legitemed secara sosial dan politik.

KONTESTAN PEMILUKADA
Menjelang pemilukada Provinsi Riau tahun 2018 sudah ada beberapa nama yang muncul di publik yang akan ikut berkompetisi dalam memperebutkan suara rakyat untuk kursi nomor satu di Provinsi Riau, sebut saja yang sudah menyatakan diri menjadi Bakal Calon Gubernur adalah (Arsyadjuliandi rachman (petahana), Firdaus, M.Haris, Lukman Edi, Syamsuar, Rusli Efendi, Hendry Munief, Irwan Nasir, Septina Primawati Rusli, ), dan bakal calon lainnya yang masih bersembunyi dibalik layar.

Nama-nama tersebut adalah tokoh-tokoh Riau dan aktor-aktor politik yang mungkin akanmenjadi Kontestan dalam Pemulikada Gubernur dan Wakil Gubernur Riau kedepan yang saat ini ditawarkan oleh partai-partai politik di Provinsi Riau.

Sebagai sebuah renungan bagi mereka-mereka yang akanmemperebutkan kursi kepemimpinan nomor satu di Provinsi Riau tersebut, bahwa kepemimpinan merupakan suatu “amanah”. Siapapun nantinya yang akan diberikan amanah tersebut, harapan masyarakat Riau adalah lahirnya “ RiauYang Baru” suatu kondisi terciptanya masyarakat Riau yang makmur dan sejahtera.

Banyak kalangan danpara pakar yang mengatakan bahwa saat ini Indonesia mengalami dis-trust kepemimpinan, baik pada level kepemimpinan nasional maupun daerah. hal itu disebabkan karna kecendrungan kontestan pemilu atau actor-aktor politik dalam prilaku politiknya maupun pandangannya melihat pemilu, sebagai proyek kekuasaan lima tahunan dan menjadikan masyarakat tidak lebih sebagai alat kekuasaan untuk mencapai tujuan politiknya.

Fenomena tersebut menegaskan bahwa, terbukanya ruang demokrasi (democracy space) yang sangat luas sejak reformasi digulirkan tumbuh suburnya partai politik, kemerdekaan mengeluarkan pendapat/berorganisasi, adanya kebebasan pers, yang disertai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah, ternyata belum mampu menunjukkan kerangka kuat dalam mewujudkan kemapanan budaya demokrasi yang substansial dalam melahirkan kepemimpinan yang amanah dan berkualitas.

Kalau kita runut sejarah pemilu di Indonesia baik secara nasional maupun di daerah, terkesan partai politik sebagai instrument kelembagaan demokrasi tidak lebih dari menjadikan masyarakat sebagai konsumsi politik atau ritual lima tahunan dalam mempertahankan kekuasaan atau merebut kekuasaan. Hal ini menyebabkan wajar opini yang berkembang dimasyarakat bahwa pemilu/pemilukada tidak ada gunanya dalam meningkatkan kehidupan yang lebih baik, tidak ada feed back yang dirasakan masyarakat secara riil dari sistem politik kita, hanya sekedar obralan janji bagaikan buah kedondong yang diluarnya bagus dan didalamnya penuh dengan seraput, Hal ini terlihat bahwa partai politik kita tidak menjalankan tugas dan fungsi partai politik sebagai sarana atau wadah bagi warga negara berpartisipasi dibidang politik dan terlibat dalam menentukan kebijakan untuk kesejahteraan hidup. 

MEDIA MASSA 
Media massa merupakan suatu bentuk saluran komunikasi politik yang pada konsep idealnya juga sangat berperan dalam pembentukan opini publik, media massa juga merupakan salah satu pilar demokrasi dan merupakan abstraksi dari khalayak komunikasi politik, kemudian dalam pelaksanaannya juga mengandung fungsi kontrol, agar masyarakat (pembaca, pemirsa, atau pendengar) kian memiliki sikap kritis, kemandirian dan kedalaman berfikir dalam menentukan pilihan-pilihan politiknya.

Dengan peranan strategis media massa dalam menciptakan pemilu/pemilukada yang berkualitas. Maka mesti harus dicermati bahwa jangan sampai terjadi koncoisasi elite (aktor politik) atau kandidat dengan media massa, sehingga membiaskan konsep ideal media massa itu sendiri, sehingga adanya penyampaian informasi yang tidak akurat kepada publik atau pemilih itu sendiri.Karna apabila antara media massa dan perannya tidak dikelola dengan baik, menurut Goenawa Mohamad, pada akhirnya akan membuat kehidupan politik tidak lebih sebagai lapak dan gerai, kios dan show-room; yang menempatkan hasil jajak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran. Dan penampilan yang atraktif, lebih efektif ketimbang prestasi dan gagasan sosial yang menggugah.

MASYARAKAT / PEMILIH RASIONAL 
Masyarakat atau pemilih rasional adalahpemilih yang mengedepankan orientasi pada program,pemilih yang rasional biasanya melihat dari rasionalitas program dan pertimbangan jejak rekam kandidat (tracking).Pemilih yang rasional didasarkan pada rekam jejak kandidat, integritas, keahlian, dan program yang ditawarkan.Bukan karena atas nama sekondanitas, karismatik seseorang, karena ikut-ikutan, dimobilisasi atau karena dibayar oleh calon/kandidat.

Dengan masih rendahnya tingkat “melek politik” masyarakat pemilih. Maka dari itu harus ada sebuah kampanye yang harus dilakukan oleh penyelenggara pemilukada Riau sejak dini,dan tokoh masyarakat, alim ulama cendikiawan,ormas dan LSM yang ada di Provinsi Riaudalam mengkampanyekan pemilih rasional. Kampanye pemilih rasional adalah sebuah kampanye yang harus dilakukan untuk pendidikan politik masyarakat Riau dalam menghadapi Pemilukada Riau2018 yang efektif, efisien, berkualitasdan  dapat melahirkan kepemimpinan Riau yang baru, makmur dan sejahtera. Semoga!

Oleh Syahril

#Komisi Pemilihan Umum

Index

Berita Lainnya

Index