Dalam Sejarah Kostrad, Ini 3 Kisah Penyergapan Paling Heroik

Selasa, 19 Juli 2016 | 00:03:00 WIB
Aksi pasukan Yonif 330 Kostrad @GarudaMiliter

1. Operasi Tinombala
Operasi ini untuk memburu pemimpin Mujahiddin Indonesia Timur (MIT), Santoso alias Abu Wardah akhirnya menuai hasil. Tim Satuan Tugas (Satgas) Tinombala yang bergerak di pedalaman tanpa sengaja memergoki kelompok yang bertahun-tahun meneror warga Poso, Sulawesi Tengah. Lelaki yang lama menjadi DPO itu pun ditembak dalam penyergapan yang berlangsung selama 30 menit.

Operasi ini dimulai sejak 10 Januari 2016 lalu, menggantikan Operasi Camar Maleo yang gagal menuai hasil, padahal sudah diperpanjang empat kali. Kedua operasi itu juga melibatkan personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang bergerak di bawah perintah Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Sulawesi Tengah Brigjen Rudy Sufahriadi sebagai Kepala Satgas Tinombala.

Santoso dan seorang anak buahnya, Muchtar tewas di tangan anggota Komando Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad). Mereka adalah prajurit Batalyon Infantri 515/Para Raider, salah satu satuan TNI yang sering terjun di medan pertempuran.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayor Jenderal Tatang Sulaiman memastikan penembak mati dua teroris dari kelompok Santoso adalah prajurit Komando Strategis TNI Angkatan Darat (Kostrad). Prajurit Kostrad tersebut berasal dari Batalyon Infantri 515/Para Raider.

Usai baku tembak, tim kecil yang terdiri dari sembilan personel langsung berbagi tugas. Lima orang dikerahkan untuk mengejar tiga teroris yang diketahui langsung melarikan diri begitu baku tembak dimulai. Sedangkan empat sisanya membuat pengamanan dan menyita satu pucuk senjata semiotomatik M16.

Keberhasilan Kostrad menembak mati Santoso ini menambah deretan sukses serupa yang dilakukan para pendahulunya. Dalam beberapa upaya memadamkan pemberontakan, di antaranya Kahar Muzakar dan pembebasan sandera di Mapenduma, Papua.

2. Memadamkan pemberontakan Kahar Muzakkar
Tepat pada 3 Februari 1965, pasukan TNI melakukan pengepungan di sebuah hutan Sulawesi dekat Sungai Lasolo. Perintah operasi penyergapan ini dilakukan oleh Asisten Operasi dan Asisten Intelijen di bawah pimpinan Kolonel Inf Solichien GP dan diberi nama Operasi Kilat.

Pengepungan dilakukan dengan taktik tapal kuda. Rencana ini melibatkan pasukan Yonif 330/Para Kujang I Kostrad pimpinan Mayor Yogie S Memed dan satu peleton Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) yang dipimpin Sintong Pandjaitan.

Saat matahari terbit, salah satu personel Yonif 330/Para Kujang Koptu Ili Sadeli tanpa sengaja mendengar suara radio di balik rimbunan pepohonan. Padahal, Kahar melarang warga di daerah kekuasaannya memiliki sebuah radio, kecuali dia sendiri. Setelah ditelusuri, ternyata suara itu berasal dari dalam sebuah rumah.

Saat mendekati rumah itu, Sadeli memergoki seseorang yang sedang keluar dari rumah sembari membawa tas. Kaget bertemu dengan TNI, pria itu mencoba kabur, secara reflek Sadeli melepaskan tembakan dan lelaki itupun tersungkur di tanah.

Sumber lainnya menyebutkan, Sadeli mengawasi rumah tersebut dari balik pohon. Tak lama, dia melihat ada seseorang keluar dengan menenteng bren dan dua ransel besar. Saat akan mengejar, dia melihat seorang lainnya keluar dan mendekati pohon tempatnya bersembunyi.

Tak mau kecolongan, Sadeli menyergap dan menangkap laki-laki itu. Secepat kilat ia menyarangkan tiga tembakan pistol hingga menembus jantung lawan. Laki-laki itu pun roboh.

Setelah lawan pertama terkapar, Sadeli melanjutkan niatnya mengejar laki-laki pertama yang menenteng bren dan dua ransel. Tetapi kali ini Thompson yang hendak dipakainya untuk menghabisi laki-laki itu ngadat. Dia pun kembali untuk melihat kondisi mayat yang ditembaknya.

Saat diperiksa, laki-laki ini ternyata memakai jam tangan bermerek Titus, terselip pulpen Pelican di balik kantong bajunya. Selain Titus dan Pelican, Sadeli menemukan uang tunai sebesar Rp 65.000, jumlah yang amat besar saat itu. Dia mulai sadar, laki-laki ini adalah Kahar Muzakkar, buronan paling dicari oleh pemerintah.

3. Operasi pembebasan Sandera Mapenduma
Selain Kahar Muzakkar, TNI juga pernah melakukan operasi besar lainnya, yakni pembebasan sandera di Mapenduma pada 1996 lalu. Penyanderaan itu mendapatkan perhatian internasional, di mana tim ekspedisi Lorenz disandera kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Untuk membebaskan seluruh sandera, TNI mengerahkan dua batalyon sekaligus, yakni Grup 5 Antiteror Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan Yonif Linud 330/Kostrad. Kedua batalyon ini dipimpin langsung oleh Komandan Jenderal Kopassus Brigjen Prabowo Subianto.

Operasi berlangsung lama dan melelahkan, salah satu sebabnya adalah permintaan organisasi palang merah internasional atau International Committee of the Red Cross (ICRC) agar TNI menunda kampanye militer. Selama itu, mereka berupaya membebaskan seluruh sandera lewat jalur diplomasi.

Sempat mencapai kata sepakat, namun pemimpin OPM, Kelly Kwalik malah berbalik. Dia malah berseru "Saya minta ubi harus dapat ubi, bukan minta ubi dikasih ketela." Artinya jelas, Kelly Kwalik hanya meminta kemerdekaan, bukan yang lain. Tak hanya itu, OPM juga ingin membunuh sandera yang berwarga negara Indonesia dan tetap menahan orang asing.

Untungnya mereka berhasil melarikan diri. Di tengah hutan, mereka bertemu pasukan Linud 330 Kostrad yang telah mengikuti mereka berhari-hari. Pasukan pimpinan Kapten Agus Rochim tersebut menemukan permen dan pembalut wanita yang tercecer di hutan. Dua benda tersebut menambah keyakinan mereka tak jauh lagi dari sandera.

Tim berkekuatan 25 orang itu bermalam di hutan semalaman. Kapten Agus memanggil bala bantuan. Keesokan pagi, Tim Kopassus datang. Mereka bertugas mengamankan lokasi dan mengevakuasi jenazah Navy dan Matheis.

Setelah 130 hari disandera, para peneliti bisa menghirup napas lega. Mereka bisa pulang ke rumah dengan selamat. Prabowo dan pasukannya panen pujian dari internasional. Bukan perkara mudah membebaskan sandera di tengah hutan Papua yang begitu lebat.

Sumber : Merdeka.com

Terkini