Misteri Keberadaan Notulensi Sidang BPUPKI Soal Lahirnya Pancasila

Kamis, 01 Juni 2017 | 18:53:51 WIB

JAKARTA - Kini Pancasila yang jadi dasar negara Republik Indonesia itu sudah berusia 72 tahun. Namun masih ada perdebatan soal siapa yang lebih dulu mengutarakan kelima sila dasar negara tersebut.

Proses pembahasan dasar negara merupakan agenda dari sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 29 Mei - 1 Juni 1945. Ada 3 tokoh yang mencoba jawab pertanyaan sidang tentang apa dasarnya Indonesia merdeka yakni Muhammad Yamin, Soepomo, dan Sukarno.

Ketiga tokoh itu memang menyampaikan pemaparan, bahkan Yamin sampai ke detail bentuk negara hingga wilayahnya. Sementara itu Soepomo menekankan tentang konsep negara integralistik.

Barulah pada tanggal 1 Juni 1945, Sukarno untuk pertama kalinya menyebut kata Pancasila. Dia menamai lima landasan yang menjadi dasar Indonesia merdeka dengan Pancasila.

"Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa--namanya ialah Pancasila," tutur Sukarno dalam sidang BPUPKI," tutur Sukarno seperti dikutip dalam buku Tjamkan Pancasila: Pancasila Dasar Falsafah Negara.

Pidato Bung Karno kala itu disambut tepuk tangan meriah dari para anggota. Hingga akhirnya Sukarno dipilih menjadi Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang terdiri dari 9 orang untuk merumuskan lebih lanjut tentang Pancasila yang diutarakannya itu.

"Dia (Sukarno) sampaikan pidato tanpa teks, kemudian ditulis tangan dengan steno, baru ditulis terjemahannya ke bahasa Indonesia," ujar sejarawan UI Rushdy Hoesein saat berbincang dengan detikcom, Rabu (31/5/2017).

Steno merupakan teknik menulis cepat yang banyak digunakan oleh wartawan di masa itu. Guratannya mirip dengan sandi pada umumnya sehingga hanya orang yang mempelajari stenografi saja yang bisa membacanya.

Adalah dua bersaudara Abdoel Gaffar (AG) Pringgodigdo dan Abdoel Kareem (AK) Pringgodigdo yang bertugas menjadi notulis sidang BPUPKI waktu itu. Mereka berdua secara bergantian juga menjadi Sekretaris Kabinet dari Sukarno setelah kemerdekaan RI sebelum dan sesudah masa Republik Indonesia Serikat.

Namun rupanya notulensi yang ditulis baik oleh AG maupun AK tak lantas bisa diarsipkan oleh negara. Salah satu tulisan bahkan sempat dibawa ke negeri Belanda.

"Notulen kemerdekaan yang punya AK Pringgodigdo dibawa Belanda, sedangkan yang dipegang AG dibawa Yamin. Sampai Yamin meninggal, kabarnya dokumen itu masih disimpan olehnya," ujar Rushdy.

Yamin memang kemudian menulis buku tentang BPUPKI setelah itu. Tetapi kata Rushdy kemudian setiap yang ingin mengulas tentang BPUPKI merujuknya ke buku tulisan Yamin, bukan notulensi dari Pringgodigdo.

"Di buku Yamin banyak kesalahan termasuk pengaturan tempat duduknya BPUPKI, disebutkan ketuanya BPUPKI bukan Radjiman tapi orang Jepang. Padahal bukan begitu kan, dan dr Radjiman seharusnya ditulis sebagai ketua. Lama itu baru diketemukan lagi ada notulensi yang disimpan di perpustakaan milik Pertamina," tutur Rushdy.

Sementara itu mengenai catatan milik AG Pringgodigdo pernah ditelusuri oleh sejarawan AB Kusuma, kata Rushdy. AB Kusuma pergi ke Belanda dan pihak setempat menyatakan bahwa notulensi itu sudah dikembalikan sejak tahun 1987.

"Banyak yang nggak tahu di mana notulensi yang asli itu. Kalau yang mau pelajari BPUPKI seharusnya merujuk bukunya Pringgodigdo. Mestinya itu notulen ada di arsip nasional, itulah buku penting," pungkas Rushdy. (dtk/dtk)

Terkini