4 Fakta di Balik Utang RI Rp 3.706,52 triliun

Selasa, 05 September 2017 | 13:23:45 WIB

JAKARTA (Wahanariau) - Kementerian Keuangan mencatat utang pemerintah pusat per Juni 2017 mencapai Rp 3.706,52 triliun. Angka ini lebih besar atau naik Rp 34,19 triliun dibanding bulan sebelumnya atau Mei 2017 sebesar Rp 3.672,33 triliun.

Berdasarkan laman resmi Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, porsi utang tersebut terdiri dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) Rp 2.979,5 triliun atau 80,4 persen dan pinjaman Rp 727,02 triliun atau 19,6 persen.

Secara keseluruhan, penambahan utang netto pada periode Januari-Juni 2017 adalah sebesar Rp 191,06 triliun, yang berasal dari penerbitan SBN Rp 198,89 triliun dan pelunasan pinjaman Rp 7,83 triliun.

"Tambahan pembiayaan utang ini dimanfaatkan untuk belanja produktif di bidang pendidikan, infrastruktur, kesehatan, transfer ke daerah dan dana desa, serta belanja sosial," kata Sri Mulyani di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Jakarta, Kamis (27/7/2017).

Sementara itu, pembayaran kewajiban utang pada Juni 2017 mencapai Rp 26,89 triliun, yang terdiri dari pembayaran pokok utang yang jatuh tempo Rp 18,91 triliun dan pembayaran bunga utang Rp 7,98 triliun.

Sedangkan, indikator risiko utang pada bulan Juni 2017 menunjukkan rasio utang dengan tingkat bunga mengambang (variable rate) mencapai 11,2 persen dari total utang.

Meski utang tumbuh Rp 34,19 triliun dalam sebulan menjadi mencapai Rp 3.706,52 triliun, pemerintah Jokowi memandang ini hal biasa. Bahkan, jumlah utang ribuan triliun ini merupakan warisan krisis 1998.

Ini fakta baru soal utang ribuan triliun tersebut.

1. 190 Negara Punya Utang
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membantah jika utang yang dimiliki Indonesia merupakan suatu masalah besar. Menurutnya, di dunia ini hampir seluruh negara mempunyai utang, termasuk di negara maju.

"Kalau saya katakan di seluruh dunia 190 negara semuanya kecuali mungkin dua negara kecil yaitu dua negara yang menjadi pusat dari perjudian. Tapi semua negara punya utang," kata Sri Mulyani dalam diskusi di Hotel Sultan, Jakarta, Ahad (26/8/2017).

Perempuan yang akrab disapa Ani ini juga membantah adanya anggapan dengan utang berarti tidak ada berkah di negara tersebut. Sebab selama dikelola dengan baik, utang sebesar apa pun bisa menjadi berkah, bukan menjadi masalah.

"Saya hanya ingin mengatakan karena itu (utang) adalah suatu instrumen yang harus dikelola hati-hati," ujarnya.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini pun berbagi cerita mengenai pengelolaan utang yang baik di kehidupannya. Di mana semasa kuliah, dirinya meminjam uang dari orang tuanya, dan menggantinya dengan kelulusan dan karirnya saat ini.

"Untuk supaya anak saya sekolah kalau Ibu saya dulu sama bapak saya pinjem. Dulu pinjem, yang sekarang sudah menjadi pendapatan saya waktu di Bank Dunia besar sekali," ungkapnya.

"Kalau kita menggunakan utang untuk tujuan dan diawasi dengan hati-hati dia bisa menjadi salah satu sumber solusi," pungkasnya.

2. Utang Naik, Infrastruktur Dibangun Dua Kali Lipat
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menuturkan, penggunaan utang negara hingga Juni 2017 sebesar Rp 3.779,98 triliun. Dia menegaskan, utang negara tersebut digunakan untuk produktivitas perekonomian Indonesia, salah satunya pembangunan infrastruktur.

Sri Mulyani melanjutkan, kenaikan jumlah utang dapat dilihat dari pembangunan infrastruktur yang naik sampai dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.

"Ini menjawab pemerintah mengetahui ke mana utang kita pergi. Kita tahu, bahwa utang ini output-nya untuk pembangunan bandara, bendungan jalan kereta api, perumahan, semuanya hasil belanja produktif termasuk utang," ujar Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI di Gedung DPR, Jakarta, Senin (3/9/2017).

Dia menjelaskan alokasi anggaran pendidikan naik Rp 200 triliun, anggaran kesehatan meningkat 181 persen. Sementara, perlindungan sosial naik hampir sembilan kali lipat dari yang sebelumnya Rp 35 triliun menjadi Rp 300 triliun.

Menurutnya, pemerintah juga sudah memberikan 20 juta Kartu Indonesia Pintar, pembangunan ruang kelas baru, rehabilitasi ruang kelas, pembangunan sekolah, membantu pembiayaan sekolah hingga imunisasi anak Indonesia.

"PKH yang tadinya hanya Rp 1,8 triliun menjadi Rp 11 triliun, jaminan kesehatan tadinya Rp 5,6 triliun naik lima kali lipat, BSN tadinya Rp 4,6 triliun naik menjadi Rp 14,6 triliun. Dana BOS naik dua kali lipat," tegasnya.

Untuk menjamin kesejahteraan masyarakat, tambahnya, pemerintah pun mengalokasikan dana transfer daerah yang diperuntukkan untuk kemajuan ekonomi.

"Sekarang dana transfer daerah anggarannya ada yang dialokasikan untuk infrastruktur. Seperti jumlah sawah, rehabilitas embung, jumlah kelas baru, kondisi jalan baik, perumahan, sambungan air minum," tutupnya.

3. 62 Persen Pinjam Dari Masyarakat
Menteri Keuangan, Sri Mulyani menuturkan, sebanyak 62 persen utang pemerintah dipinjam dari masyarakat Indonesia dari total utang negara Rp 3.780 triliun per Juli 2017. Uang masyarakat yang dipinjam tersebut dikelola oleh bank, reksadana, asuransi dana pensiun bahkan dari secara individu.

"62 Persen mereka memegang surat utang artinya mereka punya tabungan dan dia ingin investasi dalam bentuk surat utang negara," katanya dalam rapat Komisi XI DPR RI, Jakarta, Senin (3/9/2017).

Dia menegaskan, hal tersebut merupakan bagian untuk memperdalam sektor keuangan Indonesia. Jadi dalam hal ini disebut transaksi merugikan, namun sama-sama menguntungkan.

"Republik Indonesia membutuhkan untuk pembiayaan pembangunan, masyarakat punya daya beli, daya investasi untuk membeli surat utang negara. Oleh karena itu kita lihat 62 persen adalah kita berutang kepada masyarakat Indonesia melalui institusi maupun secra individual," jelasnya.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menambahkan dari total utang Rp 3.780 triliun Surat Berharga Negara (SBN) dalam bentuk Rupiah denominasinya mencapai 58,4 persen. Sedangkan, SBN valas Indonesia 22,2 persen.

"Ini memang kita isu sengaja di luar dalam rangka kita memenuhi kewajiban dari pemerintah yang dalam denominasi valuta asing, dan dia juga berguna menambah cadangan devisa misalnya dari Bank Indonesia setiap kali pemerintah mengisu surat berharga negara bentuk valas, dia langsung masuk di dalam cadangan BI," pungkasnya.

4. 30 Persen Uang Pajak Untuk Bayar Utang
Peneliti INDEF, Reza Akbar mengaku khawatir dengan rasio utang pemerintah terhadap penerimaan negara. Alasannya, penerimaan negara dari pajak hampir dipakai untuk membiayai utang.

"Pemerintah melakukan rasio utang terhadap GDP, kalau saya melihatnya rasio utang terhadap penerimaan, kalau lihat struktur utang ke penerimaan cukup mengkhawatirkan, itu sudah 30 persen, uang pajak yang didapatkan 30 persen habis untuk bayar utang, artinya bagaimana membayar utang, kita enggak mau kalau anak cucu kita bayar utang," ujarnya di Universitas Pertamina, Jakarta Selatan, Sabtu (26/8/2017).

Dia meminta pemerintah dapat melakukan pengelolaan utang secara baik. Menurutnya, pengelolaan utang sangat penting agar utang yang diambil pemerintah bermanfaat untuk masyarakat.

"Kalau dilihat postur, penerimaan perpajakan, 2013-2017 itu tumbuh 8,66 persen, pembiayaan utang 26,7 persen, jadi bunga utang tumbuh lebih tinggi daripada penerimaannya," ungkapnya.

"Kalau tidak dikelola dengan baik maka itu tidak produktif, dan juga yang akan menanggung, bayi baru lahir itu sudah nanggung utang, defisit itu dibiayain sebagian besar oleh utang," pungkas Reza. (rdk/mdk)

Terkini