Penundaan Seminar Sejarah 1965 Bentuk Kemunduran Demokrasi

Ahad, 17 September 2017 | 20:51:33 WIB
Suasana 'Asik Asik Aksi' di LBH (Foto: Cici Marlina Rahayu/detikcom)

JAKARTA - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut penundaan seminar sejarah 1965 pada Sabtu (16/9/2017) kemarin merupakan bentuk kemunduran demokrasi. YLBHI juga mempertimbangkan langkah hukum terkait pelarangan ini. 

"Pertama kita harus sebarkan soal kemunduran demokrasi ini kembali seolah-olah sebelum tahun 98 ke negara. Maksud saya ke presiden dan kepada pemerintahan, agar mereka bisa menertibkan aparatur negara sesuai dengan kebijakan negara kita yang sudah diputuskan pada tahun 98 oleh MPR," kata Ketua YLBHI, Asfinawati saat ditemui di Gedung YLBHI, Jalan Pangeran Diponegoro Nomor 74, Menteng, Jakarta Pusat, Ahad (17/9/2017).

Hal ini dinilai sangat mengkhawatirkan, serta menunjukkan ada kedaruratan yang mengancam demokrasi dan mencederai hak-hak konstitusional warga negara di bawah pemerintahan Jokowi-JK. Tindakan tersebut juga dinilai mengancam hak konstitusional warga negara dalam berserikat dan berkumpul, serta menyampaikan pendapat di muka umum.

"Yang kedua, kami akan mempertimbangkan langkah-langkah hukum, ada satu orang yang di LBH diintimidasi dan juga teman-teman yang berjaga di depan. Ada pernyataan-pernyataan diskriminatif juga, kemudian menerabas, kami mempersilakan mereka masuk tapi untuk berdialog dulu. Tapi mereka naik ke lantai 4 tanpa seizin kami itu kan pelanggaran privasi," ujarnya.

Asfinawati mengatakan bila hal ini dibiarkan terjadi dan aparat penegak hukum bisa berbuat seperti ini, maka masyarakat akan belajar bertindak hal sama. Menurutnya, polisi seharusnya memberi perlindungan. 

"Kepolisian harusnya melakukan perlindungan. Kami mengapresiasi itu. Tapi tentu saja yang namanya perlindungan, mereka menjaga dari serangan bukan menghambat orang yang punya kantor untuk masuk dan beraktivitas," jelasnya.

Menurut Asfinawati, banyak kegiatan diskusi bahkan musik di LBH yang sebelumnya melibatkan ratusan orang. Namun tidak ada izin yang harus ditunjukkan.

"Itu tidak pernah diminta izin, dan berapa kali seperti itu, dan pernah membuat panggung musik orasi seperti ini dan tidak dimintakan izin. Kepolisian juga harus menjelaskan kepada kami, kepada publik, serta kepada Presiden ada apa dengan kemarin?" Tanya Asfinawati.

Sebelumnya, LBH Jakarta membuat diskusi akademis pada tanggal 16-17 September 2017 mengenai pelurusan sejarah Indonesia tahun 1965-1966 yang dibuat terbatas untuk 50 orang. Namun, Asfinawati mengatakan muncul fitnah di beberapa media sosial mengungkapkan acara tersebut merupakan penyebaran paham komunis di Indonesia.

"Pertama begini, pertama ada hoax ada berita bohong yang disebarkan tentang kebangkitan PKI. Itu tidak ada, kecuali soal itu yang ada diskusi tentang korban 65," ucapnya.

"Kemudian yang kedua soal marxisme dan leninisme Ketika itu dikaji dalam akademis kan diperbolehkan undang-undangnya juga mengatakan demikian, dan permasalahan kemarin itu bukan diskusi marxisme dan leninisme, itu diskusi tentang pelanggaran-pelanggaran HAM yang dialami orang-orang pada saat 65 itu kan tidak semuanya PKI," sambung Asfinawati.

Padahal sehari sebelum acara tersebut berlangsung, LBH dan pihak kepolisian telah mengadakan pertemuan untuk mengklarifikasi bahwa acara tersebut merupakan diskusi akademis dan tidak seperti yang dituduhkan. Disepakati pula acara boleh berlangsung asalkan pihak kepolisian diizinkan untuk mengawasi jalannya diskusi.

"Namun pihak kepolisian membarikade Jalan Diponegoro menuju arah Mendut dan melarang semua orang untuk melewati jalan tersebut. Para peserta yang lansia dilarang masuk bahkan pihak LBH Jakarta sempat dihalang-halangi untuk masuk ke dalam gedungnya sendiri. Kemudian panitia mengeluarkan beberapa kursi untuk peserta lansia duduk namun baru bisa diizinkan setelah adu mulut dan perebutan bangku," tegas Asfinawati.

Akhirnya pada pukul 08.30 WIB berlangsung negosiasi antar pihak LBH dan pihak Kepolisian untuk menunda diskusi dengan alasan tidak memiliki izin keramaian dan pemberitahuan. Negosiasi yang yang berlangsung selama 2 jam itu disepakati hasilnya untuk menunda diskusi.

"Iya jadi memang beberapa orang kemudian mengalami trauma kembali berkali-kali, dan memilih untuk 'Waduh sudah saya pulang saja' seperti itu. Meskipun ada juga para sesepuh ini yang tetap hadir dan mereka menyadari ya ini perjuangan untuk menegakkan demokrasi," tuturnya.

Sebagai reaksi atas penundaan ini, acara 'Asik Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi' kemudian digelar di LBH. Ada beberapa agenda yang berlangsung mulai pukul 15.00 WIB hingga 21.00 WIB ini yaitu pembacaan puisi, stand up comedy, penampilan musik, serta bazaar kesenian. Hingga saat ini, acara masih berlangsung dengan diskusi, serta adapula pemeran foto di stan bagian belakang ruang diskusi.

Pendapat yang sama soal penundaan seminar sejarah 1965 ini juga disampaikan oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI). AJI menyebut penolakan terhadap seminar tersebut sebagai tindakan yang tidak demokratis.

"Tidak ada negara yang mengaku demokratis, namun alat negaranya melakukan pembubaran diskusi. Indonesia sudah masuk dalam darurat demokrasi," kata Ketua AJI Suwarjono, di kantornya, Kwitang, Jakarta Pusat, Minggu (17/9/2017).

Suwarjono mengatakan tindakan penolakan tersebut sebagai ancaman kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum. Ia menyayangkan aparat yang tidak menjamin kebebasan berpendapat tersebut.

"Represi atas kebebasan berekspresi warga adalah ancaman untuk mengembangkan pendapat di muka umum. AJI menuntut Kepolisian Republik Indonesia untuk menjamin hak setiap warga negara untuk menyatakan pendapat dan berekspresi," jelasnya. (detik)

Terkini