Film Propaganda Orba Dianggap Mengherokan Soeharto, Menyingkirkan Tokoh Lain

Selasa, 19 September 2017 | 16:08:09 WIB
detikcom/Fuad Hasyim

JAKARTA - Akademisi Ilmu Komunikasi UGM, Budi Irawanto, mengungkap Orde Baru banyak memproduksi film propaganda antara lain 'Janur Kuning', 'Serangan Fajar', dan 'Pengkhianatan G30 S/PKI'. Di dua film pertama mengambil latar belakang masa revolusi bersenjata 1945-1949 itu menempatkan Soeharto sebagai satu-satunya hero.

"Film itu menangkap Soeharto sebagai sosok pahlawan. Perannya sangat menonjol hingga menyingkirkan tokoh lainnya," kata Budi saat berbincang dengan detik.com, Selasa (19/9/2017).

Film Janur Kuning menggambarkan Soeharto sebagai inisiator Serangan Umum 1 Maret 1949. Jenderal Soedirman digambarkan sebagai pemimpin besar yang selalu meminta pendapat Soeharto. Sedangkan peran politik Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai penguasa Jogjakarta, kata Budi, dikesampingkan begitu saja.

Tema perjuangan dan heroisme militer sangat menonjol dalam film-film propaganda itu. Sedangkan peran sipil dikerdilkan. Budi menganggap Soeharto ingin legitimasi kekuasaannya bersama militer kian kuat dengan peredaran film ini. "Kekuasaan bermula dengan senjata juga tampak lebih agung kalau ada kamera," ucapnya.

Khusus film Pengkhianatan G 30 S/PKI merupakan bagian propaganda Orde Baru untuk melanggengkan pemahaman mengenai peristiwa 1965 dari sudut pandang versi militer. Kekejaman dalam pembunuhan penculikan jenderal di Lubang Buaya didramatisasi untuk membenarkan operasi terhadap simpatisan PKI. Padahal hasil autopsi mayat jenderal korban penculikan tidak menemukan siksaan seperti yang digambarkan dalam film itu.

Penulis buku 'Film, Ideologi, dan Militer: Hegemoni Militer Dalam Sinema Indonesia' ini mengaku masih banyak film propaganda Orde Baru yang ditayangkan oleh TVRI, satu-satunya siaran televisi waktu itu. Bentuknya bisa berupa sinetron mengenai pembangunan atau apapun.

Di masa orde baru akses referensi masyarakat mengenai kejadian 1965 masih terbatas. Kini ketika informasi kian terbuka, film, buku, ataupun dokumentasi lain harusnya bisa dikonsumsi tanpa tekanan.

Sejarawan Bonnie Triyana mengungkap film propaganda sengaja dibuat demi legitimasi kekuasan. Film ini memiliki tingkat akurasi sejarah rendah. Ia mencontohkan film G 30 S/PKI yang mengandung sejumlah kekeliruan.

Penculikan terhadap para jenderal, kata Bonnie, memang benar terjadi. Tapi untuk penyiksaan secara sadis, tak didukung oleh hasil otopsi tim dokter. Para dokter yang memeriksa jenazah ketujuh jenderal adalah dr. Lim Joe Thay, dr. Brigjen Roebiono Kertopati (perwira tinggi yang diperbantukan di RSP Angkatan Darat), dr. Kolonel Frans Pattiasina (perwira kesehatan RSP Angkatan Darat), dr. Sutomo Tjokronegoro (ahli Ilmu Urai Sakit Dalam dan ahli Kedokteran Kehakiman dan profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), dan dr. Liau Yan Siang (lektor dalam Ilmu Kedokteran Kehakiman FK UI).

Indonesianis dari Cornell University, Benedict Anderson, mengungkapkan hasil visum ini dalam artikelnya, How did the General Dies? di jurnal Indonesia edisi April 1987. Merujuk hasil pemeriksaan tim dokter, enam jenderal tewas karena luka tembak, dan Jenderal MT Haryono tewas karena luka tusukan senjata tajam.

Bonnie menyarankan agar masyarakat mendapat gambaran lengkap mengenai peristiwa 1965, seharusnya juga ada prakarsa untuk nonton film 'Jagal' dan 'Senyap' yang dibuat oleh Joshua Oppenheimer.

Film Jagal berkisah dari sudut pandang pelaku pembunuhan terhadap mereka yang dianggap anggota atau simpatisan PKI, sedangkan Senyap bertutur dari sudut pandang keluarga korban. Tapi pemutaran kedua film itu beberapa waktu lalu selalu mendapat rintangan dari selumlah pihak. "Jangan malah dilarang. Kan tujuannya (mempelajari) sejarah," ujarnya. [detik]

Terkini