Layakkah Anak-anak Tonton Film G30S/PKI?, Ini Tanggapan Kak Seto

Selasa, 19 September 2017 | 16:31:29 WIB

JAKARTA - TNI menyerukan acara nonton bareng (nobar) film G30S/PKI, yang menceritakan peristiwa penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan satu perwira Angkatan Darat pada malam 30 September 1965. Perintah itu ditujukan kepada personel angkatan darat di kesatuan masing-masing dengan mengajak masyarakat sekitar.

Pelajar dan anak-anak pun berpeluang menonton film G30S/PKI. Layakkah film ini ditonton oleh anak-anak?

Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi (Kak Seto) menyerahkan sepenuhnya kepada pendidik untuk menentukan boleh-tidaknya anak-anak menonton film G30S/PKI.

Menurut dia, film yang bagus di tangan pendidik yang buruk tak akan banyak faedahnya. Sebaliknya, jika film yang buruk di tangan pendidik yang baik, manfaatnya bagi anak justru bisa berlipat ganda.

"Nah, dari situ kita bisa katakan, apakah anak menonton ataupun tidak menonton film 'Pengkhianatan G30S', lebih ditentukan oleh kesiapan pendidik dalam mendampingi anak. Kalau pendidik merasa gamang, ikuti suara hati. Tinggalkan, itu dalil hakiki," kata Kak Seto melalui keterangan tertulis, Selasa (19/9/2017).

Adalah keputusan yang tak mudah melarang atau mengizinkan anak menonton film tersebut. Pasalnya, anak adalah individu berusia 0 hingga sebelum 18 tahun. Menurut Kak Seto, individu berumur 4-17 tahun, walau sama-sama berusia anak, punya dinamika psikologis yang berbeda jauh satu sama lain. Kesiapan mereka untuk menonton suatu film pun berbeda satu dan lainnya.

"Tambahan lagi, film 'Pengkhianatan G30S' berangkat dari kisah nyata tentang peristiwa sejarah. Dan tema historis tersebut memang sudah sepantasnya diketahui generasi muda," kata Kak Seto.

Proses pembelajaran yang baik, kata Kak Seto, adalah yang memberikan rangsangan multiindrawi kepada anak. Pemanfaatan film sebagai kelengkapan kegiatan belajar, termasuk belajar sejarah, sesungguhnya sudah menjadi praktik jamak dan memang bagus.

Hanya, kegiatan belajar tak semestinya cuma mengandalkan film. Apalagi riset menemukan bahwa pendekatan yang paling pas adalah dengan menyodorkan teks tentang substansi yang sama dengan tema film kepada anak.

Teks bisa dimodifikasi menjadi narasi lisan yang sebobot. Teks, pemutaran film, dilanjutkan dengan ajakan pendidik kepada anak untuk mengekspresikan apa yang mereka pikirkan.

Serbaneka perasaan yang dialami anak saat menonton film dijadikan pintu masuk bagi pendidik untuk mengedukasi anak tentang bagaimana mengidentifikasi kaitan antara situasi, perasaan, dan cara mengelolanya.

Berikan kesimpulan tentang nilai kesetiaan kepada bangsa dan negara, keyakinan pada kebenaran dan keadilan, penyerahan diri pada pertolongan Tuhan, penghormatan akan jasa pahlawan, serta optimisme akan masa depan.

"Akhiri dengan menggali ide anak tentang bagaimana mencegah terulangnya tragedi serupa. Begitu urutannya. Ingat, kearifan adalah produk dari kekuatan kognitif dan kepekaan afektif," tutur Kak Seto.

"Memang, membawa kejadian dan situasi masa silam ke masa kini boleh jadi bukan hal gampang. Pendidik, utamanya guru maupun orang tua, kudu memiliki wawasan juga agar bisa mendampingi anak meniti lintasan sejarah dengan tepat," tutur dia. [detik]

Terkini