Hadapi Kenaikan Suku Bunga AS, Sri Mulyani Optimis Stabilitas Ekonomi Indonesia Tetap Terjaga

Rabu, 14 Maret 2018 | 11:52:41 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani. ©Rimanews

YOGYAKARTA - Optimistis stabilitas ekonomi Indonesia tetap terjaga meskipun Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) berencana menaikkan suku bunga secara bertahap.

Hal ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani seusai Dialog Nasional Indonesia Maju di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Ahad (11/3/2018).

"Belajar Pasti akan ada reaksi pasar, namun pada 2017 meski ada kenaikan suku bunga AS tiga kali, perekonomian Indonesia cukup stabil," kata Sri Mulyani.

Akan tetapi kondisi tersebut membutuhkan sejumlah syarat, yaitu: makro ekonomi tetap tumbuh tinggi, defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menurun, dan tingkat inflasi rendah.

BACA : Bahas Aturan Fintech di Indonesia, OJK Gandeng Bank Dunia

"Termasuk dari sisi keseimbangan eksternal dan internal terjaga. Eksternal itu neraca pembayaran, dan internal neraca produksi," kata dia.

Menurut Sri Mulyani, pemerintah telah menyiapkan langkah antisipatif menghadapi rencana kenaikan suku bunga Amerika Serikat itu. Sejumlah langkah yang akan ditempuh, antara lain dengan mengakselerasikan investasi dan menggenjot laju ekspor nasional.

Dengan ekspor yang tetap tumbuh tinggi, menurut dia, Indonesia akan memiliki perekonomian yang kompetitif. Selain itu, apabila investasi bisa tumbuh di atas 7 persen maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa di atas 5,4 persen.

"Ini semua yang sedang dan terus kami lakukan. Artinya pemerintah akan terus berupaya baik dalam level mikro maupun makro, di tingkat perusahaan maupun di tingkat regional," katanya.

BACA : Rupiah Dibuka Menguat Tipis di Level Rp 13.761 Per USD

Selain kenaikan suku bunga The Fed, potensi lain yang harus diwaspadai adalah rencana Presiden Trump menerapkan tarif pada impor baja dan alumunium, yang oleh para ahli akan menyebabkan perang dagang.

"Sejarah dunia menunjukkan kalau terjadi perang dagang pasti dampaknya buruk terhadap ekonomi dunia," kata Sri Mulyani beberapa waktu lalu

Sri Mulyani mengatakan seluruh dunia sedang menantikan kepastian dari rencana yang juga berpotensi membuat negara-negara yang selama ini mempunyai hubungan dagang saling membalas dari sisi tarif.

"Kami lihat saja dulu, dinamika mengenai kebijakan itu sedang diperdebatkan antara Presiden Trump dengan kongres dan senat," katanya.

BACA : Terus Lakukan Reformasi Ekonomi, Indonesia Mendapat Pengakuan dan Kepercayaan Internasional

Presiden AS Donald Trump memastikan akan menerapkan tarif impor baja sebesar 25 persen dan alumunium sebesar 10 persen untuk melindungi industri dalam negeri.

Namun para ahli mengatakan langkah tersebut dapat merugikan produsen AS dan berpotensi menghadapi tantangan hukum dari mitra-mitra dagang.

Sebagai respons atas rencana AS tersebut, Uni Eropa akan mengusulkan beberapa langkah balasan dalam beberapa hari ke depan sebagai tanggapan, demikian juga Cina.

Sementara itu, asosiasi pembuat baja Eropa, Eurofer, menyatakan bahwa rencana penerapan tarif sebesar 25 persen untuk impor baja berarti AS telah memilih jalan konfrontasi perdagangan.

BACA : Menaker Janji Permudah Perizinan Tenaga Kerja Asing

Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde menyatakan tidak ada yang menang dalam perang dagang.

Dia juga menyatakan pengenaan bea impor oleh AS akan berdampak serius pada makroekonomi dunia jika negara lain membalas dengan pengenaan tarif serupa.

"Dampak makroekonominya akan serius, tidak hanya jika AS menjalankannya, tetapi khususnya jika negara-negara lain membalasnya, terutama mereka yang paling terkenda dampkanya, seperti Kanada, Eropa dan Jerman," kata Lagarde.

"Dalam perang dagang, yang dipicu oleh peningkatan resiprokal tarif impor, tidak akan ada yang menang, malah kedua belah pihak akan kalah," kata  Lagarde. Dia mengharapkan Trump tidak mewujudkan ancamannya itu.

BACA : Tingkatkan Daya Tarik Investasi, Jokowi : Perlu Penataan Masuknya Tenaga Kerja Asing

"Kami merekomendasikan kesepakatan antara berbagai pihak, dan berunding, berunding," kata dia.

Namun Lagarde berusaha memahami motif Trump mengeluarkan ancaman seperti itu dengan menyatakan memang ada alasan untuk memprotes situasi yang berlaku saat ini.

"Ada beberapa negara di dunia yang tidak menghormati kesepakatan Organisasi Perdagangan Dunia dan mensyaratkan transfer teknologi. China adalah contohnya tetapi bukan satu-satunya negara yang menerapkan praktik semacam ini," tandas Lagarde.

Sumber : Rimanews

Terkini