''Investasi'' Ijon Politik dalam Pencaturan Pilkada

Selasa, 27 Maret 2018 | 12:23:54 WIB

JAKARTA - Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Muji Kartika Rahayu mengingatkan bahwa perbedaan yang tajam antara kekayaan calon kepala daerah dengan biaya politik yang harus ditanggung membuka ruang bagi para pemodal untuk menanam saham dalam percaturan politik.

“Fiscal gap antara kekayaan calon kepala daerah dan biaya politik (pilkada/pilgub). Akibatnya, ada ruang bagi pengusaha untuk investasi,” kata pengacara antikorupsi itu di Jakarta beberapa waktu lalu.

Investasi yang sering dilakukan oleh para bandar tersebut berupa ijon politik yang kelak harus dibayar oleh politisi ketika menjabat.

BACA : Pembatalan Penetapan Calon Kepala Daerah Cukup dengan Peraturan KPU

“Pengusaha memberikan modal kepada kepala daerah, yang akan dibayar dengan izin usaha atau pembiaran kasus hukum,” katanya.

Salah satu izin usaha yang paling rawan dipakai dalam ijon politik tersebut adalah di sektor pertambangan, yakni IIzi Usaha Pertambangan (IUP).

“IUP di Kabupaten Kutai Kartanegara periode 2009-2014, dari 429 IUP yang keluar, hanya 4 IUP yang dinyatakan clean and clear oleh Kementrian ESDM,” bebernya.

BACA : Sejumlah Model Kampanye Hitam Diprediksi Terjadi di Pilkada 2018

Muji, yang juga pengacara penyidik KPK Novel Baswedan ini, menilai IUP seharusnya memuat materi minimal yang diatur di dalam UU 4/2009 dan UU 30/2014.

Akan tetapi, dia menemukan sejumlah indikasi penyalahgunaan kewenangan pada penerbitan IUP pada sejumlah sampel di Kabubaten Kukar tersebut.

“Luas pertambangan setara 34,20% dari seluruh luas Kabupaten Kukar. Ada kasus IUP  Ekplorasi yang luasnya melebihi batasan UU, yaitu IUP Nomor: 540/152/IUP-Er/MB-PBAT/XI/2011, yang dikeluarkan oleh Rita Widyasari,” jelasnya.

BACA : Demokrasi Harus Sejahterakan Rakyat

Perlu diketahui bahwa KPK menetapkan Bupati Kukar Rita Widyasari sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi pada Oktober 2017.

Suap atas Rita ini adalah bagian dari jual-beli izin tambang dan perkebunan, yang "dijual" bervariasi: dari harga puluhan juta hingga miliaran rupiah per izin.

Muji menduga IUP sebagai lahan basah bagi kepala daerah untuk diperjualbelikan karena tidak dapat diakses oleh publik secara transparan

BACA : TGB Siap Jadi Cawapres di Pilpres 2019

“Materi muatan IUP umumnya menyediakan informasi yang aman, sedangkan informasi yang sensitif tidak tersedia, yaitu Identitas pemilik perusahaan penerima IUP, termasuk pemilik saham dan jumlah saham,” jelasnya.

Informasi sensitif lain yang juga tidak tersedia adalah: jaminan kesungguhan, modal investasi, rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, penyelesaian perselisihan, iuran tetap dan iuran eksploitasi dan AMDAL.

Kemudian, lokasi pengolahan dan pemulihan, dana jaminan reklamasi dan pascatambang, pajak dan PNBP, keselamatan dan kesehatan kerja, konservasi mineral dan batubara, pemanfaatan barang, jasa dan teknologi dalam negeri.

BACA : Pesta Demokrasi Jangan Sampai Timbulkan Perpecahan, Setelah Coblos Harus Rukun Kembali

Selanjutnya, penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik, pengembangan tenaga kerja Indonesia, pengolahan data mineral dan batubara, dan penguasaan, pengembangan dan penerapan teknologi pertambangan mineral atau batubara.

Menurut Muji, “kolom sensitif” pada IUP yang dapat diakses publik tersebut sebetulnya terisi, akan tetapi ditutup oleh spidol hitam.

“Perlu penelitian lebih lanjut untuk melihat dari sisi penyalahgunaan kewenangan menuju pelanggaran hukum lainnya, terutama tindak pidana korupsi dan perusakan lingkungan hidup,” pungkasnya. (Rimanews)

BACA : Parpol Belum Sadar Penyebab Kegagalan Lahirkan Kader Berkualitas

Terkini