Dana Kampanye Tak Terpantau Bawaslu

Selasa, 27 Maret 2018 | 12:45:42 WIB
Ilistrasi Dana Kampanye (Photo: Internet)

JAKARTA - Usai ditetapkan menjadi peserta Pilkada, seluruh pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah diwajibkan untuk menyerahkan laporan awal dana kampanye kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Akan tetapi, di luar itu ada dana yang selama ini tidak pernah menjadi perhitungan untuk diawasi secara saksama oleh lembaga pengawas tersebut.

“Yang dihitung hanya biaya kampanye; padahal, ada beberapa pendanaan yang sangat besar, yaitu: pra-kampanye seperti survei, bayar konsultan politik dan lain-lain, biaya transportasi saat masa konsolidasi, membayar transport saksi-saksi, dan biaya apabila ada sengketa hasil pemilu. Ini semua tak pernah dihitung,” terang peneliti pada Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kholil Pasaribu di Jakarta, beberapa waktu lalu, sebagaimana dilansir Rimanews.

BACA : ''Investasi'' Ijon Politik dalam Pencaturan Pilkada

Menurut perhitungan Kholil, dana riil yang dibutuhkan politisi pada kontestasi Pilkada tingkat kabupaten/kota sekitar Rp20-30 miliar tergantung luas wilayah dan kesulitan medan, akan tetapi dana kampanye yang dilaporkan hanya kisaran Rp2 miliar. Sementara itu, untuk Pilgub dia menaksir di atas Rp100 miliar.

“Biaya survei dan konsultan politik itu mahal. Mereka tidak terbuka, baik calon maupun lembaga survei, berapa mereka membayar atau dibayar,” katanya.

“Belum lagi jika ada sengketa di MK (Mahkamah Konstitusi). Sebagai ilustrasi, pengacara yang disewa oleh calon itu bisa beli rumah atau mobil dari hasil kerja menemani mereka yang bersengketa. Tapi, yang seperti ini tidak dilaporkan,” sambungnya.

BACA : Pembatalan Penetapan Calon Kepala Daerah Cukup dengan Peraturan KPU

Kholil juga mencontohkan biaya mengganti transportasi saksi saat penghitungan suara. Rata-rata untuk saat ini sebesar Rp300 ribu per orang. Semua dana ini ditanggung oleh pasangan.

“Kita hitung saja, satu TPS butuh dua orang. Jadi, per TPS itu Rp600 ribu. Besaran dana seperti ini sering tak masuk akal dengan dana kampanye yang dilaporkan calon,” bebernya.

Kholil menilai pengawas pemilu harus lebih jeli untuk melihat fakta di lapangan. Biaya politik yang tinggi tersebut dan sering tidak sesuai antara laporan dana kampanye dengan aktivitas kampanye di lapangan dinilainya rawan membuka pintu korupsi.

BACA : Sejumlah Model Kampanye Hitam Diprediksi Terjadi di Pilkada 2018

“Tentunya membutuhkan pendekatan pengawasan yang mendalam dari pengawas pemilu agar tidak ada penyimpangan,” katanya.

Sebagai informasi, Komisi pemilihan umum (KPU) memberikan batasan bagi sumbangan dana kampanye pasangan calon kepala daerah di Pilkada 2018.

Sumbangan dana yang dibatasi terdapat pada dana lembaga dan perseorangan. Akan tetapi, besaran dana kampanye dapat berbeda-beda tergantung kemampuan tiap-tiap calon.

BACA : Demokrasi Harus Sejahterakan Rakyat

Dalam peraturan KPU sumbangan dana kampanye yang berasal dari badan hukum swasta dan partai maksimal sebesar Rp750 juta, sedangkan sumbangan dari pihak perseorangan maksimal sebesar Rp75 juta.

Batasan ini sesuai dengan Peraturan KPU 5 tahun 2017 tentang Dana Kampanye Peserta Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Atau Walikota dan Wakil Walikota, Pasal 7 ayat 1 sampai 3.

Fakta di lapangan, beber Kholil, pasangan calon sering memperkirakan dana kampanye yang harus mereka siapkan dengan cara mengkalkulasi berapa suara yang mereka butuhkan dikalikan nominal uang dalam rupiah.

BACA : TGB Siap Jadi Cawapres di Pilpres 2019

“Ini gawat, mereka tinggal kalikan, misalnya, Rp100 ribu kali sekian ratus ribu suara. Sebesar itulah dana kampanye yang mereka harus keluarkan. Bawaslu harus jeli melihat ini,” pungkasnya. (Rimanews)

Terkini